Rabu, 21 Januari 2009

PBB GADAIKAN KREDIBILITAS DI GAZA


Pertempuran di Jalur Gaza yang baru berakhir, kian menunjukkan betapa kredibilitas Perserikatan Bangsa-bangsa makin merosot. Kadang kala, badan yang didirikan untuk perdamaian dunia itu terlihat bagai macan kertas saja.

Sejak PBB didirikan tahun 1945, badan dunia ini sudah mengeluarkan ratusan resolusi. Ada dua forum yang berhak mengeluarkan resolusi. Yakni forum Sidang Umum (General Assembly) dan Dewan Keamanan (Security Council).

Di antara keduanya, DK dianggap sebagai forum yang paling bergengsi. Soalnya keanggotaan di DK cukup unik. Ada anggota tetap – lima negara yang memiliki hak veto dan sisanya lagi anggota tidak tetap serta tidak memiliki hak veto. Sebab itu, hampir semua keputusan DK selalu jadi ukuran apa dan bagaimana yang menjadi kepedulian atau suara dunia terhadap sebuah permasalahan.

Dengan tugas utama menjaga dan mempromosikan perdamaian, DK PBB selalu terlibat dalam upaya mencari solusi dari setiap terjadinya perang atau konflik di sebuah wilayah di dunia.

Khusus masalah Isarel dan Palestina, DK PBB sepanjang 1948-2009, sudah mengeluarkan 101 resolusi. Resolusi itu tidak terbatas pada masalah Palestina dan Israel, namun menyangkut atau terkait dengan persoalan yang ditimbulkan oleh isu Palestina atau Israel.

Sebutlah umpamanya resolusi PBB yang meminta agar Israel menarik mundur pasukannya dari Lebanon Selatan. Sekalipun secara langsung tidak ada keterkaitan dan unsur Palestina di situ, akan tetapi yang sesungguhnya yang menjadi penyebab adalah Israel menduduki Lebanon Selatan karena di wilayah itu, menurut Israel, ada pendukung Palestina yang mengganggunya.

Namun yang cukup memprihatinkan, semakin lama semakin terasa bahwa wibawa DK PBB terus melorot. Resolusi DK PBB yang dulunya sangat berwibawa, kini mulai tidak dihormati anggotanya.

PBB yang didirikan untuk mengganti Liga Bangsa-Bangsa (LBB), kelihatannya mulai mengikuti jejak pendahulunya. Jika 60 tahun lalu Presiden AS Franklin Roosevelt bersama PM Inggris, Winston Churchill yang mendorong terbentuknya PBB agar lembaga baru dunia ini bisa lebih mampu menghentikan peperangan, kini justru pemimpin kedua negara itu yang menggembosi peranan PBB.

Sebut saja peristiwa penolakan Israel terhadap Resolusi DK PBB nomor 1860 yang dikeluarkan 9 Janjuari 2009 lalu. Resolusi ini kemungkinan besar akan ditaati Israel jika Presiden George Bush tidak mendikte Menlu Condoleeza Rice. Condo kabarnya disuruh Bush untuk abstain dengan alasan, menunggu dulu hasil Konperensi Perdamaian Doha, yang disponsori oleh Liga Arab.

Resolusi 1860 itu sendiri intinya meminta penghentian serangan militer oleh Israel terhadap Hamas di wilayah Gaza. Resolusi itu begitu dikeluarkan langsung ditolak Israel. Penolakan itu diwujudkan dengan terus berlanjutnya serangan militer dengan tidak ada rasa bersalah apalagi takut.

Memang ada kritik bahwa resolusi 1860 itu mengandung kelemahan. Karena bukan hanya Israel yang tidak menerimanya. Tapi juga pihak Hamas. Yang berbeda alasannya saja. Hamas mengatakan pembahasan resolusi itu tidak dikonsultasikan dengan pihak mereka. Artinya ada keinginan Hamas yang mungkin tidak ditampung, didengar atau diperhatikan.

Kendati begitu, jika dicari pihak mana yang dianggap paling melawan dan meremehkan keputusan DK PBB, tidak lain tidak bukan adalah Israel. Penolakan Israel ini sebetulnya tidak terlalu mengejutkan. Sejak dua dekade terakhir ini, PBB tidak berpihak secara benar dalam konflik Isarel, Palestina (Arab). PBB dianggap terlalu bias di dalam memahami persoalan Israel dan Palestina. PBB lebih membela kepentingan Israel.

Dunia memang agak terkejut ketika Rice menyatakan abstain. Tidak seperti biasanya AS bersikap seperti itu Biasanya jika hal itu sudah menyangkut soal yang berkaitan dengan Israel, AS akan selalu bersikap menentang atau memveto. Dan kekuatan veto AS itu otomatis menggugurkan resolusi dimaksud.

Tentang penolakan Israel atas resolusi 1860 itu, kini mulai muncul kegelisahan bahwa ternyata selain PBB yang mulai diragukan kewibawaannya, Sekjen PBB Selatan Ban Ki-moon yang asal Korea pun ternyata tidak punya kharisma sama sekali. Dia tidak lebih dari seorang bonekanya AS.

Sebelum pemungutan suara itu dilakukan Sekjen PBB itu masih sempat melakukan peninjauan dari dekat situasi perang antara Israel dan Palestina. Artinya Sekjen PBB asal Asia itu, juga melakukan pengumpulan data di lapangan secara langsung. Ternyata upaya ini tidak punya manfaat sama sekali.

Gencatan senjata memang sudah berlangsung di Gaza. Namun karena langkah itu sudah terlebih dahulu diawali dengan pembangkangan terhadap Resolusi 1860, dunia tetap mencatat PBB memang (sudah) tidak punya wibawa. Tidak jelas apakah kemerosotan wibawa PBB ini terkait dengan agenda AS atau karena lembaga dunia tersebut sudah semakin tua. AS memang menyumbang dana 22% dari total anggaran PBB. Terbesar dari semua ke-192 negara anggota.

(KIRIMKAN DANA FII SABILILLAH ANDA KE REKENING DANA PALESTINA DI BANK MANDIRI CABANG THAMRIN DENGAN NOREK. 103.000.508.5119 ATAS NAMA BENDAHARA ADI BASKORO. UANG MASUK PER 18 JANUARI 2009 SEBESAR RP 13.650.000, PENGIRIMAN DANA KE PALESTINA SEBESAR RP 12.500.000, SALDO KAS RP 1.135.000)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar